Memahami batik berarti mengenal tingginya nilai warisan budaya yang layak dibanggakan. Karenanya, menjadi ironi bila sampai saat ini dokumentasi audiovisual tentang batik Indonesia masih relatif jarang. Dalam konteks itu, upaya Nia Dinata memproduksi film dokumenter Batik, Our Love Story patut dihargai.
Film ini mengisahkan batik sebagai ekspresi cinta yang didedikasikan oleh para pembuatnya. Ditampilkan sejumlah pembuat batik legendaris dari beberapa sentra batik, seperti Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Lasem, dan Madura.
Liem Poo Hien di Pekalongan, misalnya, bukan hanya mewarisi rumah batik yang dibangun orangtua dan kakek neneknya. Ia juga menyerap semangat, ketekunan, dan kecintaan para perintis batik china peranakan dan batik hokokai itu hingga tetap bisa memproduksi batik sampai hari ini.
Hal yang sama dilakukan Widianti Widjaya yang meneruskan rumah batik Oey Soe Tjoen. Widianti, misalnya, masih mewarnai sendiri batik yang ia produksi tanpa sarung tangan. "Karena susah merasakan kelendirian air keras pewarnanya kalau pakai sarung tangan. Jadi enggak bisa sering-sering juga. Diwarnai sekalian kalau sudah agak banyak batiknya," ujarnya.
Di Pekalongan, Sugeng Madmil, yang meneruskan usaha batik orangtuanya, mengisahkan minat orang untuk membeli batik koleksi yang ia warisi, di antaranya ada yang berumur 200 tahun. Hanya orang gila yang tidak butuh uang, katanya, tetapi kecintaan pada batik membuat Sugeng yakin tak akan pernah melepaskan batik-batik itu.
Banyak cerita
Para pembuat batik yang penuh cinta ini juga mengungkapkan kegalauan bahwa tak banyak anak muda yang berminat menekuni keterampilan membatik, apalagi menjadikan batik sebagai sandaran sepanjang usia. Sedikit disiratkan dalam film dokumenter ini ketidaksejahteraan para buruh pembatik.
Kata Widianti, fasilitas untuk membatik saja pemerintah tak menjamin. "Jadi, mimpilah kalau pembatik bisa menjamin anak-anaknya akan tetap membatik," ujarnya. Minyak tanah, bahan untuk bikin malam, dan kain mori, misalnya, bisa melonjak mahal harganya dan susah didapat.
Di Lasem, kelompok usaha bersama pembuat batik di Desa Jeruk bisa mengubah nasib dari sekadar buruh pembatik menjadi pengusahameski tak terceritakan bagaimana itu dilakukan. Mereka juga mendidik anak-anak kecil membatik. Namun, sebagian besar anak-anak itu tak meneruskan pelajaran membatik begitu mereka beranjak remaja.
Dalam bahasa gambar, film ini bertutur dengan baik. Namun, banyaknya ide yang ingin disampaikan memang menyulitkan semua tuntas tersampaikan. Cerita tentang bagaimana motif batik menggambarkan kondisi lingkungan, ingatan suka dan duka, juga doa dan harapan, misalnya, belum sepenuhnya tergambar.
Belum tersampaikan pula kekhasan yang membawa selembar kain batik menjadi legenda, misalnya, pada batik-batik Oey Soe Tjoen, Liem Ping Wie, atau Sigit Witjaksono. (NUR HIDAYATI)
www.isugosip.blogspot.com