Ilustrasi |
Ketika berumur 20 tahun, saya sudah bekerja di perusahaan bus di Bandung. Selain bertugas sebagai sopir, saya juga dipercaya untuk melakukan pembelian suku cadang dan untuk mengurus keuangan perusahaan. Melihat kerajinan dan ketekunan saya bekerja, bos saya berniat untuk menjodohkan saya dengan putrinya. Saya keberatan dengan perjodohan itu dan mengundurkan diri dari perusahaan. Tahun 1980, saya bertemu dengan seorang wanita pilihan saya sendiri dan menikahinya di Bandung. Setahun setelah menikah, kami membuka usaha bengkel dan menjual suku cadang sepeda motor.
Sebelum menikah saya berziarah ke tempat-tempat keramat, dan kegiatan ini sudah menjadi kebiasaan saya. Hingga kami dikaruniai tiga orang anak, saya tetap setia mengunjungi guru-guru spiritual di Gunung Kawi agar cepat memperoleh kekayaan dan untuk mendapatkan jimat. Pengaruh jimat-jimat yang kami miliki di luar dugaan kami. Usaha kami berkembang demikian pesat. Banyaknya konsumen yang harus kami layani mengakibatkan kami tidak ada waktu lagi untuk anak-anak, bahkan untuk makan saja kami tidak sempat. Namun, ketika harta itu semakin melimpah, keadaan keluarga kami menjadi "panas" dengan keributan setiap hari. Tidak ada lagi komunikasi yang baik di antara kami.
Begitu sibuknya kami mengurus bisnis yang semakin besar, sampai kami lupa kepada "sang pemberi berkat". Kami lupa memberikan kewajiban dari perjanjian kami terhadap berhala-berhala yang ada di rumah kami, akibatnya anak kami yang pertama meninggal "diambil" berhala tersebut. Sekalipun kami menyadari bahwa anak kami telah menjadi tumbal, namun tidak pernah sedikit pun kami berniat untuk menjauhkan diri dari berhala itu, malahan kami tetap memeliharanya dengan baik. Akibatnya, keadaan keluarga semakin hari semakin berantakan. Puncaknya terjadi ketika kami akhirnya memutuskan untuk bercerai secara resmi di catatan sipil. Saya pergi dari rumah dan bekerja sebagai operator bioskop layar tancap. Adik saya yang memerhatikan keadaan itu, menghampiri saya, dan mengajak saya pergi ke gereja.
Baru saja saya menginjakkan kaki di halaman parkir gereja, Tuhan telah menjamah hati saya. Saya menyesali seluruh perbuatan-perbuatan jahat yang saya lakukan selama ini, dan di tempat parkir mobil itu saya menangis sejadi-jadinya. Saya merasa tidak layak masuk ke dalam tempat suci itu. Lalu setelah mengutarakan berbagai permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga saya kepada hamba Tuhan di gereja itu, hamba Tuhan itu menganjurkan agar saya dan istri saya bersatu lagi. Dengan dorongan dari hamba Tuhan itu, saya mencoba mendatangi istri dan anak-anak. Namun, dia tidak percaya bahwa saya sudah berubah. Menurutnya, perubahan itu terlalu cepat saya alami.
Saya belum berani untuk tinggal serumah dengan istri saya, bahkan saya diperlakukan sama seperti karyawan bengkel lainnya. Setiap pagi saya datang untuk bekerja bersama istri saya di bengkel dan sore harinya saya pulang ke rumah ayah saya. Sekalipun saya memunyai temperamen yang sangat keras, namun Tuhan melembutkan hati saya untuk mengalah dan semuanya itu saya lakukan demi keutuhan rumah tangga. Setiap kali ada kesempatan, saya meminta maaf kepada istri saya sambil mengatakan bahwa saya sudah berubah dan sudah bertobat. Di hari berikutnya, saya mengajaknya mengunjungi gereja untuk membuktikan bahwa saya sudah bertobat, namun setiap kali saya mengajaknya, ia selalu menolak. Beberapa bulan kemudian, hati saya semakin kasihan melihat anak-anak dan istri, maka saya mengatakan kepadanya bahwa saya sudah berubah, dan saya ingin rujuk untuk membangun rumah tangga dengan rukun.
Setelah berbulan-bulan, akhirnya Tuhan mendengar doa saya. Tahun 1991 istri saya bersedia pergi bersama saya ke gereja. Di sana Tuhan mulai melembutkan hatinya, dan pada kali yang ketiga ketika ia ikut bersama saya, dalam ibadah itu ia menerima Yesus sebagai Tuhannya. Setelah sama-sama dibaptis, Tuhan mempersatukan kami kembali.
(Sumber : Seorang pria yang tidak ingin namanya disebutkan Majalah Suara)
www.isugosip.blogspot.com