Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya dalam keadaan tidak punya apa-apa, negara ini tidak dapat berbuat banyak. Sesuai keahliannya, Soekarno menutupi kelemahan itu dengan menggelorakan semangat revolusi. Menurutnya, revolusi Indonesia adalah salah satu revolusi terbesar di dunia sehingga bangsa ini pantas merasa sebagai bangsa yang besar.
Indonesia yang negara dengan bangsa yang besar tapi tidak punya apa-apa! Saat itu, semua potensi ekonomi mulai dari tingkat produksi sampai distribusi, dipegang Belanda. Lembaga pengendali keuangan, De Javanesche Bank, seluruh sahamnya dimiliki swasta.
Kondisi demikian diperparah sikap Belanda yang terus berusaha mengganjal. Salah satu isi Konperensi Meja Bundar (KMB) menyebutkan masalah Irian Barat (Papua sekarang) akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. Dalam hal ini Belanda bertindak sepihak dengan menetapkan Irian Barat sebagai bagian dari wilayahnya.
Pembebasan Irian Barat ini memicu Soekarno untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Dasar hukum pengambilalihan perusahaan Belanda itu adalah Undang-Udang Nomor 86 Tahun 1958. Pasal 1 UU itu menyebutkan bahwa perusahaan Belanda yang berada di wilayah Indonesia dinyatakan menjadi milik negara. Penetapannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959.
Nasionalisai perusahaan itu sungguh tidak mudah, apalagi setidaknya ada tujuh perusahaan Belanda yang besekala internasional. Sementara pihak Republik Indonesia tidak memiliki tenaga ahli yang cukup untuk mengendalikannya. De Javanesche Bank (kemudian menjadi Bank Indonesia), pengendalian kebijakannya sempat menimbulkan friksi antara Syafrudin Prawiranegara dan Sumitro Djojohadikusumo.
Soekarno terus menggelorakan revolusi, pengurusan perusahaan-perusahaan Belanda yang telah diambil alih dipercayakan kepada militer. Sejumlah perwira militer, salah satunya Ibnu Sutowo dipercaya di bidang perminyakan. Setelah beberapa tahun berlalu, terbukti proses pengambil alihan perusahaan asing itu tidak segampang melontarkan gagasan.
Perkembangan selanjutnya, kebijakan Orde Baru, pemerintah justru melakukan hal sebaliknya. Hampir semua perusahaan negara diprivatisasi, termasuk perusahaan-perusahaan strategis. Investor ditawari berbagai kemudahan untuk mengambil alih porsi saham BUMN sebesar-besarnya.
Ternyata kebijakan seperti itu juga pada akhirnya disadari sebagai kekeliruan. Ada usul agar saham yang sudah terjual ke pihak asing, khususnya di bidang telekomunikasi, dibeli lagi. Ini juga ternyata tidak mudah. Di bidang perbankan pun, kita harus menelan pil pahit ketika berniat akan masuk ke wilayah Malaysia dan Singapura. Yang bersikap murah hati dan murah harga ternyata cuma kita.
Sejak dulu Indonesia memang tak punya pengalaman dalam mengokohkan potensi ekonomi bangsanya sendiri. Persoalannya berpangkal pada perilaku pemimpin bangsa yang lebih senang dengan menonjolkan gaya hidupnya yang royal dan boros.
Kita tidak mau belajar dari Swadeshi-nya Gandhi ketika melakukan perlawanan terhadap kolonial Inggris, yang mengajak rakyat India tidak menggunakan produk buatan Inggris. Rakyat India diajak menenun sendiri kebutuhan kainnya. Gerakan yang terkesan naif ini ternyata mampu melahirkan sesuatu yang sangat fenomenal. Industri tekstil yang dikuasai Inggris terancam bangkrut, dan tentunya tidak mungkin pihak kolonial menumpas perlawanan semacam ini dengan kekerasan.
Beranikah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mengikuti jejak Presiden Argentina Cristina Fernandez de Kirchner (59)? Presiden Argentina yang masih cantik itu baru saja menasionaliasi perusahaan minyak YFC yang sahamnya dipegang Repsol, raksasa minyak asal Spanyol.
Cristina berpendapat, tindakannya itu untuk mengukuhkan kontrol negara terhadap ekonomi yang dipincu krisis energi. Meski Argentina memiliki perusahaan minyak raksasa, sebenarnya Argentina tetap menganggarkan tiga juta Dollar Amerika Serikat untuk impor minyak.
Bagaimana dengan Indonesia? Semoga ada keberanian, mau tetap ngotot menaikkan harga BBM atau memilih Nasionalisasi Perusahaan Asing.
www.isugosip.blogspot.com