Barangkali, tak banyak yang tahu bahwa Chairil Anwar, salah satu penyair besar Angkatan 45, pernah bertemu dengan Sang Kristus. Dari pertemuan itu lalu terciptalah sajak "Isa". Pertemuan itu, menurut pakar sastra Prof. A Teew, menggema jiwa si pelantun sajak "Binatang Jalang" itu.
Perhatikanlah sajak "Isa" yang dibuat pada November 1943 berikut:
ISA
Kepada nasrani sejati
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera
mengatup luka
aku bersuka
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
(-Chairil Anwar)
Pertemuan yang bagaimanakah yang dimaksudkan Prof. A. Teew, sehingga pertemuan itu sedemikian mampunya menggema jiwa Chairil? Entahlah… hanya si penyair yang tahu. Dan kita hanyalah penafsir yang akan selalu sibuk menginterpretasikannya.
Tapi nampaknya, menurut A. Teew, si penyair tidak bertemu langsung dengan Yesus Kristus, melainkan lewat rupa manusia. Dan lewat rupa manusia, yang adalah seorang "Nasrani sejati" itu, sang penyair lalu menciptakan sajak itu.
"Pertemuan Chairil Anwar dengan Kristus barangkali menjadi mungkin, diakibatkan atau dilantarankan oleh pertemuannya dengan seorang Nasrani sejati," demikian tulis A. Teew dalam esainya: "Sang Kristus Dalam Puisi Indonesia Baru", seperti yang dikutip dari buku "Sejumlah Masalah Sastra", 1982; rangkuman Satyagraha Hoerip, Ed.
Penting diperhatikan bahwa puisi ini ditujukan kepada Nasrani sejati. Lewat "Isa" Chairil mencoba menggambaran bagaimana seharusnya seorang Nasrani hidup di bumi ini. Bahwa seorang Nasrani sejati telah hidup karena darah, karena sebuah penderitaan, martir, pengorbanan, hinaan, cemoohan, hujatan, perih. Dan di atas segalanya itu, seorang Nasrani sejati haruslah melihat penderitaan itu sebagai pergulatan hidup. Seorang Nasrani sejati harus bertanggungjawab dengan kesalahannya itu.
Apa kesalahan manusia itu? Di segi ini, Chairil tampaknya mengerti benar apa kesalahan manusia dari perspektif Kristianitas, yaitu ketidaktahuannya. Maka benar jika ada tertulis: "Carilah kebenaran maka kamu akan dicerahkan." Bahwa ketidaktahuan adalah dosa besar umat manusia. Barangkali untuk itu pulalah muncul sebuah kata suruh: "bacalah", artinya carilah pengetahuan itu.
Tanggungjawab dan rasa kebersalahan lantas menjadi salah satu tema yang bisa dimasukkan ketika menginterpretasikan: Isa".
Diperkosa persepsi
Kita tahu, Chairil Anwar bukanlah penyair Nasrani. Dan pasti tidak akan ada orang berani menyangkal hal itu. Dengan kata lain karena "Isa", belum pernah seorang pun yang lalu berani mengatakan bahwa Chairil adalah penyair Nasrani.
Untuk menghindari persepsi demikian, dan kontroversi yang mungkin akan ditimbulkannya, barangkali masuk akal pulalah jika puisi "Isa" tidak dimuat dalam kumpulan "Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus", 1949. Tapi kemudian muncul dalam "Deru Campur Debu", 1950 atas usaha H.B Jassin.
Anggap saja itu tidak jadi masalah, sebab penyair kini telah tiada. Lupakan soal kontroversi meski sebuah puisi adalah benda abadi dengan berjuta persepsi. Semua orang juga tahu, hingga akhir khayatnya, sang penyair tetap dikenal sebagai bukan panyair Nasrani. Dan, soal Nasrani atau tidak, itu pun tidaklah menjadi masalah yang begitu penting diwacanakan saat ini. Sebab seorang penyair tidak dilihat, dinilai dan dipandang dari agamanya, pun bukan dari suku, ras, hingga embel-embel identitas lainnya.
Dan jika pun demikian adanya, mungkin akan muncul pulalah genre penyair baru, angkatan baru berdasaran identitas. Sekali lagi, karena seorang penyair haruslah berpandangan universal tentang manusia dan kehidupannya. Ia lebih mengutamakan moralitas universal daripada moralitas yang berasal dari agama, kebudayaan sebab penyair memandang manusia adalah seyogyanya adalah sama.
Lalu, apa gunanya mempersoalkan pertemuan Chairil Anwar dengan Sang Kristus? Pertanyaan ini ada miripnya dengan apa yang dikemukakan A.Teew dalam esainya tadi. Memang benar adanya jika pemuatan puisi ini seluas-luasnya akan menimbulkan kontroversi seputar keyakinan si penyair.
Tapi, mengapa lantas kemudian H.B. Jassin berusaha agar puisi ini dimuat dalam kumpulan puisi si penyair selanjutnya? Dan bukankah usaha semacam itu tentu membutuhkan penjelasan dan pemberian pemahaman yang benar-benar masuk akal secara kepenyairan kepada penyair-penyair lainnya, "penikmat" puisi serta publik sastra kita saat itu, hingga mereka benar-benar mengerti, bahwa "Isa" seperti yang diintensikan si penyair: kepada Nasrani sejati.
Rumusan: seorang penyair tidak punya hak lagi atas puisinya setelah puisi itu dilepas kepada audiens atau publik, benar adanya. Puisi itu selanjutnya akan "diperkosa" kebenarannya demi pengungkapan fakta-fakta di dalamnya.
Sebagaimana Prof. A. Teew mengapresiasi puisi itu, sebagaiama H.B Jassin berusaha agar puisi itu terbit ke permukaan dan selanjutnya akan digerogoti dengan pelbagai interpretasi, maka karena "Isa" adalah puisi, siapa saja bisa memberi apresiasi kepadanya.
(Tonggo Simangunsong)
www.isugosip.blogspot.com